Senin, 14 Desember 2009 di 21.51 | 0 komentar  
sekedar memforward..

ayah, sudah berapa kali aku menyakitimu hatimu

sudah keberapa kalinya aku menyinggung perasaanmu

dengan kata-kata dan sikap yang tidak pantas diucapkan

seorang anak terhadap orang tuanya



ayah, sungguh betapa besar pengorbananmu untuk anak-anakmu

walaupun kau tidak menyetujui keinginan anak-anakmu yang macam-macam

tapi dengan terpaksa kau mengabulkannya

hanya untuk menyenangkan hati anakmu

yang pada akhirnya memang kata-katamu benar

bahwa keinginan kami tersebut, sedikit banyak tidak begitu bermanfaat



ayah, banyak sekali kurasakan pengorbananmu terhadap kami

namun sering kali keluar dari mulutku kata-kata yang menyakiti hatimu

kata-kata yang seolah-olah kau tidak pernah berbuat sesuatu

untuk membahagiakan anak-anakmu

kata-kata yang seolah-olah kau begitu jahat dan tak pernah mengalah bagi kami

namun dibalik itu semua

kau berkorban diatas kepentinganmu untuk kepentingan kami anakmu



sering kali apa yang kau berikan untuk kami

sebagai tanda perhatianmu terhadap anak-anakmu

yang ternyata membutuhkan pengorbanan yang tidak kecil dan tidak mudah untuk kau lakukan,

kami sia-siakan begitu saja

seolah-olah semua yang kau berikan bagi kami,

tidak ada artinya buat kami



entah dengan cara apa kami harus meminta maaf ?

entah cukupkah kebahagiaan dan kebanggaan yang akan kami beri untukmu nanti ?

untuk menebus kesalahan dan kebodohan kami



ayah, walau kami merasa sikap dan tindakan yang kau tunjukan

dan yang kau ajarkan pada kami begitu keras,

namun semua itu benar pada akhirnya

semua itu ternyata berguna bagi kami

sebagai bekal persiapan mental kami

bahwa ternyata hidup di dunia ini sangat keras

bahwa ternyata hidup di dunia ini sangat kejam

bahwa ternyata betul hidup didunia ini butuh perjuangan untuk menghadapinya



ayah, kau bekerja begitu keras

diusiamu yang tidak muda lagi

dan dengan kondisi tubuh yang tidak seperti 25 tahun lalu



kau bekerja keras membanting tulang

pergi kesana kemari

hanya untuk menghidupi kami

tertama untuk pendidikan kami

yang tak pernah kau kompromikan

karena hanya hal itu yang kau utamakan

bukan untuk siapa-siapa

melainkan sebagai modal bagi kami

untuk dimasa depan kami kelak



ah, ayah....

semoga kami masih bisa mempunyai waktu yang cukup

untuk bisa membuatmu bangga,

untuk bisa membahagiakan mu





ayah,, maafkan kami,

anak-anakmu
Diposting oleh roem poet Label:
Selasa, 01 Desember 2009 di 23.05 | 0 komentar  
dari milist tetangga

Semoga bisa menjadi pembelajaran bagi kita ...Aminnnn.. .
 
Surah Al Maa'un Ayat satu, Kita-kah ? ( hanya sebuah renungan kecil )

Diantara rintik hujan yang mengantar senja ke tempat peristirahatannya , semilir angin berhembus menerpa wajah-wajah letih di jalanan membuat orang enggan untuk keluar rumah. Genangan-genangan air mulai muncul di jalan-jalan beraspal yang tidak lama lagi akan memantulkan cahaya lampu-lampu jalan menandakan malam segera datang. Disudut jalan seorang anak kecil masih asyik memainkan mobil-mobilan bekas yang di perolehnya tadi siang dari tempat sampah. Ibunya masih tertidur disampingnya, atap-atap lebar rumah dan lebatnya pohon melindungi mereka dari sapuan air hujan, di sudut lain tampak beberapa pengemis dan pemulung juga mulai merebahkan diri. " Allahu Akbar..Allahu Akbar" kumandang adzan maghrib terdengar saling bersautan dari corong-corong spiker masjid, suarayang mengajak orang menemui Sang khaliq penciptanya.

" Bu..bu..itu udah adzan mau sholat gak?" teriak anaknya membangunkan sang ibu, tapi ibunya masih terus tertidur. Anak itu diam , lalu kemudian meneruskan bermain mobil-mobilan. Setelah hampir setengah jam asyik bermain , anak tersebut kembali membangunkan ibunya " Bu....bu..., ...ibu gak sholat...... bangun dong bu....angga lapar nih !!" teriak anaknya, tapi ibunya masih tetap tertidur, tidak bergeming sedikitpun. Karena keletihan membangunkan ibunya tetapi tidak ada hasil anak itu kemudian tertidur disamping ibunya. Anak itu berusia lima tahun dengan badan kurus dan lusuh, sedangkan ibunya berusia sekitar tiga puluh tahun dengan wajah kurus pucat seperti orang sakit keras. Tidak beberapa lama adzan Isya berkumandang. Hujan semakin deras, jalanan tampak sepi, Anak itu terbangun sambil meringis karena merasa lapar. Dia bangun lalu berlari kearah masjid di seberang jalan, kemudian menengadahkan tangan kepada jama'ah masjid yang hendak melaksanakan sholat. Anak itu telah terbiasa mengemis di depan masjid dan di persimpangan jalan, tetapi malam itu tidak satupun jama'ah yang memberikannya uang. Dia terus meringis menahan sakit perut yang belum terisi sejak pagi karena ketika siang hari ibu nya muntah-muntah lalu kemudian tidur dan belum bangun sampai malam itu.

" Aro'aitalladzi yukajjibu biddin, fadza likalladzi ya du'uul yatim wa la yaa khuddu 'alaa thoo 'amil miskin" terdengar suara imam membaca surat Al Maa'un dari dalam masjid tentang para pendusta agama. Semua jama'ah hafal ayat itu tapi sama seperti nasib anak di luar masjid itu surah Al Maa'un tersebut terlantar di sudut ingatan. " Iqra !" kata malaikat jibril kepada Muhammad SAW, tidak ada kitab disana , Rasulullah SAW pun tidak bisa membaca, lalu apa yang mesti di baca ? " Iqra bismirabbikalladzi khalaq" bacalah dengan menyebut nama Tuhan Sang Maha Pencipta, surah itu seperti berteriak kepada kita "bacalah sekelilingmu, bacalah keadaan lingkunganmu, baca dan berkacalah pada alam semesta dan tunjukan kepedulianmu" dan kita hanya tertunduk sambil terus membolak-balik kitab suci.

Anak itu belari kembali kepada ibunya sambil menangis menahan sakit, tubuhnya basah oleh air hujan, air yang bagi mahluk lain menjadi rahmat, tetapi baginya menjadi seperti sapaan Tuhan terakhir kepadanya, dia tertidur sambil memegang perut didada ibunya. Kedua ibu dan anak itu pada pagi harinya di ketemukan warga telah meninggal dunia, meninggalkan derita yang dideranya , meninggalkan para pendusta agama yang tidak pernah mau menyapanya.

 Ketika malam nanti hujan menghampiri kita, disaat kita berkumpul bersama keluarga dan merasakan kehangatan, maka sesekali ambillah payung lalu keluar rumahlah, carilah rintihan disudut-sudut jalan, di halte-halte bis , sapalah mereka , redakan ketakutan di hati mereka berbagilah sedikit. Jika kokohnya rumah kita masih membuat takut anak anak kita ketika mendengar halilintar , lalu bagaimana dengan teriakan anak-anak tanpa atap tersebut, siapa tahu senyuman kita mampu mengusir galau dan resah di hati mereka lalu perlahan-lahan bisa melunturkan stempel pendusta agama di kening kita
Diposting oleh roem poet Label:
 sekedar memforward.... semoga berguna...


Selesai berlibur dari kampung, saya harus kembali ke kota. Mengingat
jalan tol yang juga padat, saya menyusuri jalan lama. Terasa
mengantuk, saya singgah sebentar di sebuah restoran. Begitu memesan
makanan, seorang anak lelaki berusia lebih kurang 12 tahun muncul di
depan.

"Abang mau beli kue?" Katanya sambil tersenyum.
Tangannya segera menyelak daun pisang yang menjadi penutup bakul kue
jajaannya.

"Tidak dik....abang sudah pesan makanan," jawab saya ringkas. dia berlalu.
Begitu pesanan tiba, saya terus menikmatinya. Lebih kurang 20 menit
kemudian saya melihat anak tadi menghampiri pelanggan lain, sepasang
suami istri sepertinya. Mereka juga menolak, dia berlalu begitu saja.

"Abang sudang makan , tak mau beli kue saya?" katanya tenang ketika
menghampiri meja saya.

"Abang baru selesai makan di, masih kenyang nih," kata saya sambil
menepuk-nepuk perut. Dia pergi, tapi cuma disekitar restoran. Sampai
di situ dia meletakkan bakulnya yang masih penuh. Setiap yang lalu
ditanya....

"Tak mau beli kue saya bang..pak.kakak atau ibu."

Molek budi bahasanya.

Pemilik restoran itu pun tak melarang dia keluar masuk ke restorannya
menemui pelanggan. Sambil memperhatikan, terbersit rasa kagum dan
kasihan di hati saya melihat betapa gigihnya dia berusaha.
Tidak nampak keluh kesah atau tanda-tanda putus asa dalam dirinya,
sekalipun orang yang ditemuinya enggan membeli kuenya.

Setelah membayar harga makanan dan minuman, saya terus pergi ke mobil.
Anak itu saya lihat berada agak jauh di deretan kedai yang sama. Saya
buka pintu, membetulkan duduk dan menutup pintu. Belum sempat saya
menghidupkan mesin, anak tadi berdiri di tepi mobil. Dia menghadiahkan
sebuah senyuman.
Saya turunkan cermin. Membalas senyumannya.

"Abang sudah kenyang, tapi mungkin abang perlukan kue saya untuk
adik-adik abang, ibu atau ayah abang," katanya sopan sekali sambil
tersenyum. Sekali lagi dia memamerkan kue dalam bakul dengan menyelak
daun pisang penutupnya. Saya tatap wajahnya, bersih dan bersahaja.
Terpantul perasaan kasihan di hati. Lantas saya buka dompet, dan
mengulurkan selembar uang Rp 20.000,- padanya.

"Ambil ini dik! Abang sedekah ....tak usah abang beli kue itu." saya
berkata ikhlas karena perasaan kasihan meningkat mendadak. Anak itu
menerima uang tersebut, lantas mengucapkan terima kasih terus berjalan
kembali ke kaki lima deretan kedai. Saya gembira dapat membantunya.

Setelah mesin mobil saya hidupkan . Saya memundurkan mobil saya. Alangkah
terperanjatnya saya ketika melihat anak itu mengulurkan uang Rp
20.000,- pemberian saya itu kepada seorang pengemis yang buta kedua
matanya.

Saya terkejut ... saya hentikan mobil, memanggil anak itu.

"Kenapa bang,  mau beli kue kah?" tanyanya.

"Kenapa adik berikan duit abang tadi pada pengemis itu? Duit itu abang
berikan adik!" kata saya tanpa menjawab pertanyaannya.

"Bang saya tak bisa ambil duit itu. Emak marah kalau dia tahu saya
mengemis. Kata emak kita mesti bekerja mencari nafkah karena Allah.
Kalau dia tahu saya bawa duit sebanyak itu pulang, sedangkan jualan
masih banyak, mak pasti marah. Kata mak mengemis kerja orang yang tak
berupaya, saya masih kuat bang!" katanya begitu lancar. Saya heran
sekaligus kagum dengan pegangan hidup anak itu. Tanpa banyak soal,
saya terus bertanya berapa harga semua kue dalam bakul itu.

"Abang mau beli semua kah?" dia bertanya dan saya cuma mengangguk.
Lidah saya kelu mau berkata.

"Rp 25.000,- saja bang....."

Selepas dia memasukkan satu persatu kuenya ke dalam plastik, saya
ulurkan Rp 25.000,-. Dia mengucapkan terima kasih dan terus pergi.
Saya perhatikan dia hingga hilang dari pandangan.

Dalam perjalanan, baru saya terfikir untuk bertanya statusnya. Anak
yatim kah? Siapakah wanita berhati mulia yang melahirkan dan
mendidiknya? Terus terang saya katakan , saya beli kuenya bukan lagi
atas dasar kasihan, tetapi rasa kagum dengan sikapnya yang dapat
menjadikan kerjanya suatu penghormatan. Sesungguhnya saya kagum dengan
sikap anak itu.

Dia menyadarkan saya, siapa kita sebenarnya.

---
Mutiara Amaly "Penyejuk jiwa Penyubur Iman"
Diposting oleh roem poet Label:
Visit the Site